August 14, 2004

WheN Love Is NOt EnOugH - Part 8

Sudah lebih dari dua tahun aku menghabiskan kehidupanku di sini. Aku tidak pernah pulang ke Jakarta, untuk liburan sekalipun. Walaupun sebenarnya sekolahku sudah selesai, berkat rekomendasi dan praktek kerjaku dulu, aku berhasil memperoleh pekerjaan sementara di sini. Sebentar lagi batas waktunya habis dan aku harus pulang ke Jakarta, mulai membantu usaha papa. Sejujurnya, aku tidak rela melepaskan apa yang aku miliki di sini. Aku menikmati pekerjaan dan pergaulan yang aku miliki di sini. Budaya orang-orang di sini membuatku merasa lebih bebas dan tidak tertekan. Bagaimana Jason sekarang? Apakah ia masih bekerja di Sydney atau apakah ia sudah pulang dan membantu usaha papanya di Jakarta? Ah.. ingin rasanya aku bertanya tentang Jason kepada Rosa namun ego ini terlalu besar.
Aku perhatikan lagi detail di undangan Rosa. Pernikahannya masih tiga bulan lagi. Pestanya akan diselenggarakan di Jakarta. Hmm.. itu berarti aku harus pulang agar dapat hadir di pesta itu. Tiba-tiba aku tersentak. Bukankah itu berarti aku akan bertemu dengan Jason? Jantungku berdebar-debar sendiri. Bodohnya diriku.. Tak lama kudengar ada yang membuka pintu depan. Kuintip sedikit siapa yang datang, ternyata Stanley. Ia muncul dengan mendekap bungkusan besar penuh belanjaan.
"Kok nggak tiduran? Ngapain bengong di ruang tamu?" tanya Stanley sambil terus berjalan ke arah dapur. "Pusingnya udah mendingan?" sambungnya lagi sambil membereskan belanjaannya. Aku berjalan malas-malasan dan duduk di dapur kering seraya menatapnya yang masih sibuk sendiri dengan barang-barangnya.
"Udah lumayan lah.." jawabku sambil menguap.
"Kalau udah mendingan, sini bantuin aku masak.."
"Nggak jadi Stan.. pusingnya kumat lagi ngeliat kamu.." jawabku sambil ngeloyor pergi ke kamar. Aku hanya tersenyum mendengar Stanley ngomel-ngomel sendiri. Stanley.
Sahabat baikku. Kami berkenalan dalam suatu acara yang diadakan oleh komite anak-anak indonesia di kampus. Waktu itu ia juga sedang melanjutkan masternya, namun jurusannya berbeda dariku. Rupanya rumah kami di Jakarta berdekatan, dan dari situ pembicaraan kami mulai berlanjut. Aku merasa cocok sekali bergaul dengan Stanley. Aku tidak pernah merasa risih untuk menceritakan apapun padanya walaupun ia laki-laki. Mungkin karena gayanya yang seperti perempuan membuatku tidak pernah menganggapnya sebagai seorang laki-laki. Walaupun begitu, aku yakin ia juga bukan seorang gay karena ia pernah menceritakan kisah cintanya dulu padaku. Hanya kepada Stanley aku bisa leluasa menceritakan masa laluku dengan Jason, sesuatu yang tidak pernah diketahui oleh teman-temanku di sini. Hanya dengan dia aku bebas melakukan apa yang aku mau. Marah.. menangis.. berteriak.. semuanya..
Setiap aku sakit, Stanley-lah yang menjagaku. Seperti yang ia lakukan sore ini. Ia tahu aku agak tidak enak badan sehingga harus pulang lebih cepat dari kantor. Ia langsung berbelanja bahan-bahan untuk memasakkanku makanan, sesuatu yang sangat sering ia lakukan. Stanley bukan hanya sahabatku, ia juga adalah saudaraku. Aku sering memanggilnya, 'my sister' karena ia lebih cerewet dari mamaku sekalipun. Kalau sudah begitu ia pasti pura-pura marah dan mulai bersikap sok seperti gentleman. Tapi itu tidak pernah bertahan lama.
"Biancaaaaaa.." Kudengar ia berteriak memanggil namaku. Kulihat jam weker di samping tempat tidurku. Sudah 30 menit berlalu, ia pasti sudah selesai masak. Stanley adalah koki tercepat dan terhebat yang pernah aku kenal. Tidak ada yang bisa menyaingi masakannya. Waktu aku keluar dari kamar, kulihat ia sedang menata piring di meja makan. Aku segera menghampiri dan membantunya.
"Ini ravioli dengan cheese cream-nya tuan putri.." ucapnya sambil menghidangkan makanan kesukaanku itu. Seperti biasa, Stanley tidak langsung makan. Ia selalu menyalakan musik. Katanya, kalau sambil mendengarkan musik yang romantis, makan apapun akan jadi enak. Malam ini ia memasang lagu First Love-nya Nikka Costa.
"Stan, malem ini kamu nggak jemput kakakmu?" tanyaku sewaktu ia sudah duduk bersama-samaku di meja makan.
"Tadi dia juga pulang cepet soalnya mesti jemput temennya yang baru datang dari Jakarta."
"Oh ya? Kenalin donkkk. cewek atau cowok?"
"Eh.. ganjennya kumat nih anak. Yang ini cewek, pokoknya jatahku.." balas Stanley tak mau kalah.
"Ambil gih.. Dianya juga belum tentu mau sama kamu.." aku mencibirkan bibirku.
"Udah.. serius nih.. Weekend ini kita disuruh temenin dia jalan-jalan soalnya kakakku ada tugas di luar kota."
"Oke, aku juga free kok.." jawabku senang. "Ngomong-ngomong, siapa namanya? Tau nggak?"
"Sarah." Jawaban Stanley langsung membuat suasana hatiku kacau.
Sarah.. Mungkinkah Sarah yang itu? Aku melirik Stanley. Ia tampak biasa saja, sibuk mengunyah makanan di mulutnya yang penuh itu sambil sesekali bersenandung.

PART 9

Weekend yang aku tunggu-tunggu pun tiba. Aku tidak sabar ingin bertemu dengan yang namanya Sarah. Aku ingin tahu apakah ia adalah Sarah yang selama ini membakar kecemburuan dalam diriku. Sarah yang selama ini membuatku ingin melupakan Jason selamanya. Ia muncul di hadapanku. Tepat seperti yang aku bayangkan, ia begitu cantik.. Jika ia adalah Sarah yang selama ini aku ingin temui, maka tidak salah Jason begitu tergila-gila padanya. Tubuhnya begitu sempurna, membuatku merasa minder seketika itu juga. Semua gerak-geriknya begitu sopan dan feminin, mencerminkan wanita yang sesungguhnya..Jika aku bukan wanita, mungkin aku juga akan jatuh cinta padanya.. Ketika Stanley meninggalkan kami berdua saja, kuberanikan diri untuk memancing-mancingnya menceritakan masa lalunya.
"Kamu berapa lama rencananya di sini?" tanyaku membuka percakapan.
"Sampai semua tempat sudah aku kunjungi.." jawabnya sambil menyibakkan rambut panjangnya yang berwarna kecoklatan ke belakang dan tersenyum manis padaku.
"Kalau kamu? Apa sudah pasti menetap di sini?" Aku menggelengkan kepalaku.
"Rasanya aku harus kembali ke Jakarta."
"Oh.. udah ada yang nungguin di sana yah?" senyumnya nakal. Kebetulan.. pikirku.
"Wah.. nggak ada lah.. Emangnya kamu ada yah?" Air wajahnya berubah sedikit,terlihat agak sedih.
"Tidak ada yang menungguku.." jawabnya.. misterius.. Aku terdiam, otakku berputar keras, mencari pertanyaan lain yang bisa aku ajukan padanya.
"Kenapa kamu ama Stanley nggak pacaran aja? Kalian keliatannya cocok sekali.." ia berbicara lagi. Aku tertawa.
"Stanley dan aku sudah seperti kakak adik. Kami nggak mungkin pacaran.."
"Atau apakah karna kamu masih mencintai orang lain?" tanyanya, tidak dengan nada yang terlalu serius. Aku terhenyak. Tidak kusangka ia akan bertanya hal seperti itu pada perjumpaan pertama kami walaupun aku tahu ia tidak bersungguh-sungguh dengan pertanyaannya.
Ia tersenyum. "Tidak perlu dijawab. Aku sudah tahu jawabannya.."
Aku menatapnya heran. Ia tidak membalas tatapanku.
"Kalau kamu?" tanyaku memberanikan diri.
"Aku? Semua orang pasti memiliki seseorang yang dicintai.." kini ia menatapku. Tatapan matanya begitu tajam, namun indah..
"Ohh.." jawabku kikuk. "Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa kenal dengan kakaknya Stanley?" tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan. Mungkin lain kali baru aku coba membahas hal ini lagi.
"Kami berkenalan waktu aku sekolah di Sydney." Jantungku mulai berdetak cepat.
"Oh ya, kapan kamu lulus?"
"Aku tidak pernah lulus kuliah.. Aku harus menikah." matanya menerawang. Ia lalu tertawa kecil. "Jangan pikir aku menikah karna sudah hamil duluan yah.."
"Kalau begitu, kenapa kamu menikah?"
"Dijodohkan.." Tidak salah lagi.. Dia pasti adalah Sarah yang mantan kekasih Jason.
Belum aku sempat bertanya lagi, Stanley sudah muncul. Percakapan kami terputus..

PART 10

"Kamu yakin?" tanya Stanley sewaktu aku memberitahukannya tentang kesimpulan yang aku dapatkan tentang Sarah.
"Ya abisnya kan aneh kalau bisa ada dua kejadian mirip seperti itu.."
"Tapi dari yang aku dengar, dia masih single kok.. Lihat aja, emangnya dia kelihatan kayak orang udah nikah? masih seksi begitu.." Stanley bersuit.
Aku melemparkan bantalku ke kepalanya.. Kesal dengan sikapnya yang tidak serius. Ia malah membalas lemparanku dan perang bantalpun dimulai. Belum sampai lima menit..
"Nyerah.. nyerah.." ucap Stanley akhirnya dengan napas terengah-engah.
"Makanya.. diettt!! Kegendutan sih.." aku tertawa lepas.
"Ca.." panggil Stanley serius. "Aku akan tanyakan pada kakakku tentang Sarah."
"Thank you, Stan.. You are the best!" aku memelukku sahabatku itu.
Menurut Tania, kakaknya Stanley, Sarah batal menikah dengan pria yang dijodohkan oleh orang tua mereka. Alasannya simple saja, pihak pria yang memutuskan perjodohan tersebut. Selebihnya Tania tidak pernah bertanya banyak, takut hal tersebut akan membuatnya sedih. Sarah juga agak tertutup. Tania bahkan tidak pernah mendengar nama Jason. Aku agak sedikit kecewa karena tidak banyak informasi yang bisa diberikan oleh Tania. Namun aku belum menyerah.

Malam ini house mate-ku menginap di rumah temannya jadi Stanley akan datang dan masak makan malam untukku. Ia juga akan mengundang Sarah untuk bergabung bersama kami. Menurut Stanely, aku bisa manfaatkan kesempatan ini untuk bertanya lebih banyak tentang masa lalunya. Stanley dan Sarah datang bersama. Stanley langsung mulai memasak sementara aku diminta menemani Sarah ngobrol. Aku mengajak Sarah untuk berbincang-bincang di kamarku.
"Wah, kamarnya rapih ya.." puji Sarah. Ia lalu duduk di dekat meja belajarku.Belum aku sempat berbicara, kudengar Stanley memanggilku. Aku memutar bola mataku.
"Ada pa lagi sih..' gumamku. "Bentar yah Sar.." aku meninggalkan dia sendirian. Ketika aku kembali ke kamar, aku terkesiap melihat Sarah sedang memegang undangan pernikahan Rosa.
"Kamu kenal yang pengantin pria atau pengantin wanita?" tanyanya tajam.
"Aku sahabat Rosa. Kamu?" Entah mengapa, aku tidak suka dengan sikapnya yang menurutku agak sedikit kurang sopan.
"Jadi kamu yang bekas tunangannya Jason.." gumamnya pelan. Aku merasa agak tersinggung ketika mendengarkannya mengatakan kata 'bekas'.
"Jadi kamu yang bekas pacarnya Jason.." balasku tak mau kalah walaupun tetap kuusahakan agar nada bicaraku tetap terdengar bersahabat.
Ia berdiri dan menghampiriku. "Ya, tepatnya, aku cinta pertama Jason."
Aku membalas tatapannya. Aku merasa marah, terluka dan terkalahkan..
"Kamu memang cinta pertamanya.. Namun apakah ia masih mencintaimu sekarang?" balasku.
"Aku rasa kamu pun tahu jawabannya." Ia tersenyum. "Kamu dulu bisa mendapatkannya karena aku pergi dari hidupnya."
"Ia tidak pantas mencintaimu setelah kamu meninggalkannya begitu saja."
Aku merasa emosiku sudah naik ke ubun-ubun.
"Terserah kalau kamu mau menyalahkanku. Namun satu hal yang pasti, aku masih mencintainya dan akan kubuktikan padamu, aku bisa memilikinya kembali.." ucapnya sinis.
Suasana makan malam itu menjadi dingin. Aku tidak mengucapkan sepatah katapun. Stanley yang sibuk mengajak Sarah ngobrol dan mencoba mencairkan suasana. Tampaknya Stanley sudah bisa menduga apa yang terjadi. Sarah sendiri bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Aku tidak menyangka Jason bisa menyukai orang seperti dia.. Sungguh munafik.. Atau mungkin Jason tidak pernah mengetahui sisi lain dari perempuan ini?Setelah mengantar Sarah pulang, Stanley kembali lagi ke rumahku untuk menanyakan apa yang terjadi.
"Aku nggak nyangka deh anaknya rese begitu.." ucapku setelah aku menceritakan percakapanku dengan Sarah tadi.
"Jadi gimana donk? Sekarang kamu sudah tahu dengan pasti, dia adalah Sarah yang mantan pacarnya Jason.. Lalu?" Aku termenung mendengar pertanyaan Stanley.
"Aku nggak tahu Stan.. Aku hanya tidak rela melihatnya merebut Jason dariku.. Dia tidak pantas mendapatkan Jason lagi.." ucapku dengan mata menerawang. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
"Kalau begitu, buktikan padanya, Jason lebih memilih kamu.." Aku menatap Stanley lama sekali.. Sejujurnya aku agak ragu apakah Jason akan memilih diriku. Aku tahu, seberapa besar pun luka yang pernah ditinggalkan ditinggalkan Sarah, Jason akan selalu memaafkannya. Aku pun pernah terluka karena alasan yang sama. Benarkan Jason akan memilihku? Seperti bisa membaca pikiranku, Stanley menggenggam tanganku erat.
"Ambillah cinta yang menjadi hak kamu sebelum kamu menyesal.." ia meyakinkanku.
Ucapan Stanley seperti memberiku sebuah keyakinan. Aku mengangguk.
"Kamu benar, Stan.. Mungkin ini sudah saatnya.." Esoknya, aku memutuskan untuk menelpon Sarah.
"Ini aku, Bianca.." ucapku dingin.
"Oh.. ada apa?" tanyanya seperti tidak pernah terjadi apa-apa antara kami.
"Katamu, kamu bisa merebut Jason kembali. Aku minta kamu buktikan itu.." Ia terdiam sebentar. "Bagaimana kalau kita ubah permainannya. Kalau kamu bisa buktikan, Jason lebih memilihmu daripada aku, aku yang akan pergi.."
"Caranya?" tanyaku.
"Simple saja. Aku tunggu kamu di pesta pernikahan Rosa.."
"Apa kamu bilang? Kamu juga diundang?" tanyaku kaget.
"Bukan urusanmu.." jawabnya dingin. Kini aku yang terdiam sebentar.
"Baik.. Aku harap kamu tepati ucapanmu.." Ia lalu menutup telpon itu begitu saja.

Tidak lama setelah kejadian itu, aku dengar dari Stanley, Sarah kembali ke Jakarta. Aku sendiri tidak pernah berbicara lagi dengannya. Aku tidak pernah merasakan kebencian yang begitu dalam terhadap seseorang sebelumnya. Bukan hanya karena aku merasa ia adalah sainganku, namun juga karena sikapnya yang terlalu meremehkanku.
"Ca, kamu yakin, kamu akan back for good?" tanya Stanley selagi kami makan malam bersama. Lagu Forever Love-nya Gary Barlow menemani kami.
"Cepat atau lambat aku tetap harus kembali kan?" aku memain-mainkan nasi di piringku dengan tidak selera.
"I'll miss you.." ucapnya. Aku tertawa.
"Ca.." panggilnya lagi. "Apakah kamu dah siap bertemu dengan Jason?" Aku spontan mengangkat bahuku. "Aku agak takut Stan.. Tapi kehadiran Sarah seperti mendorong aku untuk menerima kenyataan bahwa aku masih mencintai Jason.. Ia seperti memberi aku keberanian untuk mengambil keputusan yang tidak pernah berani aku ambil sebelumnya.." aku menatap Stanley kosong.
"Bagaimana kalau nanti Jason ternyata memilih Sarah?" tanya Stanley seketika.
Aku agak kaget dengan pertanyaan Stanley. Aku selalu takut memikirkan kemungkinan itu.
"Aku doakan ia bahagia dengan Sarah.."
"Lalu bagaimana denganmu?"
"Entahlah.." Stanley menggenggam tanganku hangat.
"Kalau itu terjadi, kamu harus ingat, aku selalu di sini, mendukungmu.."
"Terima kasih Stan.." Stanley tersenyum.
"Jangan khawatir. Hal itu takkan terjadi karena Jason pasti memilihmu.."
"Bagaimana kamu bisa begitu yakin?"
"Karena aku tahu, Jason bukan laki-laki bodoh yang mau melepaskanmu begitu saja.."
Aku tersenyum. Aku mempererat genggaman tangan kami. Saat bersama Stanley, aku menemukan apa yang disebut orang sebagai suatu ketenangan..
"Jadi Stan.. Kamu sendiri bagaimana?"
"Aku? Yah begini-begini saja.." jawabnya dengan gayanya yang lucu..
"Kamu nggak cari pacar? Aku tahu kok ada beberapa bule yang demen sama kamu.." ledekku.
"Wah.. males aku ama bule, nanti kalo dah nikah pasti pada melar.. Aku butuh yang kurus donk, supaya nggak berebut makanan.. Sekalian memperbaiki keturunan.. Masa dari generasi ke generasi keluarga besar-besar semua sih??" Aku tertawa mendengar komentarnya.
"Stan, kayaknya yang jadi istri kamu pasti lama-lama juga gendut soalnya dimasakin yang enak-enak terus sih.."
"Ah.. tuh kamu aja makan dari tadi kaga abis-abis.. Nggak enak yah?" gaya sok ngambeknya mulai keluar.
"Maap deh.. Abisnya lagi nggak enak badan nih.. Tau sendiri kan?" aku mengedipkan mataku.
"Nggak, nggak tahu.. Aku kan LAKI-LAKI!" lagi-lagi ia membuatku tertawa.
"Aduh Stan.. aku nggak bisa bayangin nih.. di Jakarta nanti bakalan nggak ada kamu.." ucapku serius..
"Siapa bilang?"
"Hah? Kamu juga ke Jakarta?" tanyaku kaget. Ia tersenyum nakal, namun aku tahu, senyumannya itu berarti 'iya'. Aku langsung berteriak kegirangan dan memeluknya.
"Eh, jangan kesenengan dulu.. Aku cuma liburan di sana.."
"Nggak pa-pa.. Pokoknya kamu mesti nemenin aku pas pestanya Rosa.." paksaku.
"Memang itu tujuanku kok.. Aku mau kamu berbagi kebahagiaan denganku.. Pokoknya, jangan mentang-mentang dah jadian lagi ama Jason, aku ditelantarkan yah! Awas!" ancamnya sambil sok mengacung-acungkan tinjunya.
"Beres boss!" sorakku gembira.. Stanley memang selalu tahu kapan aku membutuhkannya..

PART 11

Waktu kepulanganku ke Indonesia semakin mendekat. Sudah dari jauh-jauh hari aku mempersiapkan semuanya. Karena kali ini kepulanganku adalah untuk selamanya, aku mempersiapkan semuanya dengan begitu cermat. Dengan dibantu Stanley, aku sudah siap pulang sekarang.. Ia bukan hanya membantuku secara fisik, ia juga menguatkan diriku, terus menerus meyakinkanku bahwa ini adalah keputusan yang benar..
Di saat aku takut dan bimbang, pelukannya terbuka lebar untuk menenangkanku.. Di saat aku mulai membayangkan perpisahanku yang menyakitkan dengan Jason, tawa dan lelucuon konyolnya akan membuat semua itu sirna seketika.
Di saat aku sedih karena akan berpisah darinya, senyum dan genggaman tangannya meyakinkanku bahwa ia selalu ada di setiap langkahku.. Bahwa ia selalu berdiri di sampingku dan siap menopangku kapan saja aku terjatuh.. Aku tak tahu mengapa, semuanya itu malah membuatku semakin sedih dan takut.. Membayangkan perpisahanku dengannya, aku merasa seperti anak kecil yang akan dipisahkan dari mainan kesayangannya.. Aku tahu ini adalah perasaan yang bodoh.. Aku akan memulai hidupku yang baru, bersama dengan cinta pertamaku, sesuatu yang aku pendam dan aku nantikan selama ini..Aku harus bahagia kali ini.. Harus....
Tiba di Jakarta, semuanya terasa familiar. Seperti déjà vu rasanya ketika aku melihat tempat-tempat yang aku datangi dulu. Saat-saat ini begitu menyenangkan. Ditambah dengan kehadiran Stanley di sampingku, aku merasa begitu bisa gembira bisa pulang ke rumah. Papa dan mama langsung menyukai Stanley, terutama mama. Ia dan Stanley langsung jadi akrab. Mereka sering masak dan shopping bersama. Kadang aku
jadi geli sendiri melihatnya. Untung saja papa tidak cemburu..
Akhirnya saat itu tiba. Besok adalah pernikahan Rosa. Rosa tidak tahu kalau aku sudah ada di Jakarta. Ia berpikir aku tidak akan datang karena aku tidak bisa mendapat cuti dari kantor tempat aku bekerja.. Mungkin begitu lebih baik, jadi kalau Jason memilih Sarah, aku bisa pulang begitu saja tanpa Rosa perlu tahu bahwa aku pernah datang.. tanpa perlu ada masalah lagi tercipta..

PART 12

"Ca, gaun buat besok udah disiapin?" tanya Stanley ketika ia masuk ke kamarku.
"Bingung nih Stan.. Gaunku nggak banyak.. Pilihin donk.." aku menunjuk ke lemari baju tempat aku menyimpan semua gaun pestaku. Stanley langsung menyortir isi lemari tersebut.
"Aduh Ca.. seleramu jelek banget sih.. Harusnya kita beli pas shopping sama mama kamu kemaren.." ucapnya setengah mengomel. Aku hanya tersenyum mendengar komentarnya.
"Eh, yang ini bagus.. Simple tapi anggun.." Stanley mengeluarkan sebuah gaun dan menunjukkannya padaku.
Aku terdiam.. Gaun itu.. "Itu gaun pertunanganku dulu Stan.." sahutku pelan.
Raut wajah Stanley langsung berubah. Hening sesaat.. Lalu raut wajahnya kembali ceria, "Ya nggak pa-pa.. Sekalian sebagai tanda bahwa kamu jadi tunangan dia lagi.." sambungnya setengah bercanda.
"Norak ah.." balasku dengan senyum dipaksakan. Stanley mengembalikan gaun itu ke tempatnya. Ia lalu menghempaskan dirinya, duduk di sebelahku.
"Jangan bete gitu donk.." ia mencoba membuatku tersenyum.
"I'm ok, Stan.." aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Ia berbalik menyadarkan kepalanya di atas kepalaku.
"Gini aja.. Besok kita coba cari gaun yang bagus yah tapi aku yang pilihin..
Dijamin nggak kalah dari gaun pilihan dia deh.." Aku hanya mengangguk tak bersemangat.

....to be continued

No comments:

Post a Comment