December 11, 2004

Lily yang Modis Itu

Cerpen Ai Faridah

LILY Rahmawatie. Gadis ini terkenal lincah, modis dan berkelas.Tidak sembarangan merk pakaian yang ia kenakan. Tapi ia begitu ramah dan care pada teman-teman, bahkan dikenal super dermawan. Sayang, teman-teman sering memanfaatkkan kedermawanannya. Sanjung sedikit, rezeki akan mengalir. Mudah sekali mengeluarkan uang dari dompet Lily. Soal gaul, Lily pasti tidak sembarangan. Aku tidak termasuk kategori teman gaulnya. Banyak kriteria yang tidak termasuk kategori teman gaulnya. Aku tidak modis dan berkelas, hanya seorang mahasiswi miskin. Kadang-kadang kehabisan bekal di tengah jalan. Sehingga aku harus mengandalkan hasil penjualan makanan kecil yang kutitipkan di warung sekitar tempat kost. Kalau pada akhirnya Lily akrab denganku, itu karena ia ingin aku mengajarinya Statistik. Tapi aku tidak keberatan. Toh pada dasarnya ia anak yang baik.

***

HARI ini, kali pertama aku menginjakkan kaki ke tempat kost Lily. Asli, mewah! Kalau dibandingkan sepetak kamar yang kutempati, bagai bumi dan langit lapis ke tujuh. Orangtua Lily pasti bukan orang sembarangan. Kalau bukan pejabat, pasti konglomerat.
”Kamarmu lengkap sekali Ly!” Pujian itu akhirnya meluncur juga setelah kuamati semua peralatan yang ada; tape, TV, VCD, seperangkat komputer, dispenser, kulkas kecil, lemari berukir, tempat tidur dan entah apa lagi.
”Ah biasa aja. Mama yang ngirim semua ini. Biar rada-rada nyerempet kamarku di rumah,” timpal Lily.
”Apa? Nyerempet? Kamar semewah dan selengkap ini hanya dibilang nyerempet kamarnya di rumah?” Batinku takjub dan sulit membanyangkan.
”O, ya, Vi, istirahat dulu ya! Kalau mau minum, ambil aja deh. Mau apa? Cola? Fanta?” Lily membuka kulkas. Berkaleng-kaleng soft drink dan buah-buahan segar bejubel. Kedermawanana Lily kumat. Berbagai cemilan, biskuit, minuman dan buah-buahan terhampar di depanku. Mata kuliah Statistik akhirnya mendekatkan aku dan Lily. Sejak itu aku jadi sering mampir ke tempat kostnya. Lama-lama aku jadi keenakan dengan fasilitas lengkap di kamar Lily. Apalagi bila ada tugas, Lily membolehkanku menggunakan komputernya. Jadilah simbiosis mutualisme antara aku dan Lily. Aku bisa memakai fasilitasnya, dan aku membantunya membuat tugas. Seharian di kamar Lily membuat aku serasa jadi orang kaya. Tapi ketika aku kembali ke kamarku, aku jadi tersadar akan keadaan diriku yang sebenarnya. Terkadang aku jadi suka berandai-andai. ”Astaghfirullah!” Aku mengusap wajah. Sebagai seorang Muslim, tentu aku tidak boleh menghitung-hitung apalagi iri dengan kenikmatan orang lain.

****

SIANG itu, usai belajar Statistik di tempat kost Lily, kubenahi buku-buku yang berserak.
”Kamu kan suka berita kriminal, Vi. Sok atuh setel TV-nya!” pinta Lily.
Aku langsung menghidupkan TV dan kubidik berita kriminal yang ditayangkan salah satu stasiun TV swasta. Sementara Lily beranjak ke tempat tidur merebahkan tubuh sekadar menghilangkan puyeng habis dibakar pelajaran Statistik. Presenter TV tengah membacakan berita tertangkapnya seorang ibu rumah tangga.
”....menurut pengakuan tersangka, dia terpaksa menjadi bandar narkoba untuk biaya kuliah anaknya. Juga untuk memenuhi segala permintaan anak yang selalu ingin hidup mewah.”
”Innalillah! Lihat, Ly! Kasihan ibu itu. Demi anak ia rela berbuat begitu. Anaknya aja tidak ngukur kemauan.” Tak kudengar sahutan dari Lily. ”Daripada hidup mewah dengan menjerumuskan orangtua, lebih baik apa adanya. Iya kan, Ly?” Tetap tak ada komentar. ”Ly!” aku menoleh.
”Masya Allah!”. Lily tengah meringis-ringis. Tangannya memegangi dada. ”Ly, Ly! Kamu Kenapa?” Aku memburunya. Sejenak tubuh Lily mengejang. Wajahnya pasi. Nafasnya mulai tersengal. Aku panik. Apalagi ketika kepala Lily terkulai. Dia pingsan.

***

AKU tepekur di samping tempat tidur Lily. Sejak kemarin Lily terbaring di rumah sakit. Jantung Lily kumat. Meski demikian, Lily melarangku untuk menghubungi keluarganya. Ia bahkan tak mau dikunjungi siapa pun kecuali aku. Lily sering kudapati sedang nangis sendirian. Seperti menyembunyikan sesuatu.
”Vi, kudengar kamu suka jualan makanan kecil?” ujarnya. Aku mengangguk. ”Kamu hebat. Seharusnya aku juga sepertimu.” Lily terlihat menerawang.
”Ah, kamu jangan bercanda.” Aku tertawa sumbang. ”Buat apa kamu kerja keras? Orangtuamu kaya. Sedang aku? Ayahku hanya petani desa. Kalau tidak begini, tidak mungkin aku bisa kuliah.”
”Vi!”, tiba-tiba ia memegang tanganku. ”Aku Cuma anak yang nggak ngukur kemampuan. Aku selalu ingin hidup mewah seperti orang kaya. Aku senang teman-teman memujiku. Menganggapku orang borju.” Air mata Lily menganak sungai. Aku menautkan alis.
”Mama tak pernah menolak permintaanku,” suara Lily tersendat. ”Sejak kecil aku penyakitan. Dan ini kumanfaatkan untuk mendapatkan apa yang kuinginkan.”
”Sudahlah, Ly. Aku mengerti.” Kupegang tangannya.
”Kamu nggak ngerti, Vi. Demi aku, demi memenuhi keinginanku yang selalu ingin hidup mewah, Mama telah menjadi bandar narkoba.”
”Apa?!”Aku melotot. Kutatap lekat-lekat wajah Lily yang berleleran air mata. Lily mengangguk pelan.
Jadi, Lily yang modis itu....
Terbayang wajah Ayah dan Ibu yang berpeluh keringat sepulang kerja di sawah, uang bulanan yang pas-pasan, kamar kost yang pengap, lemari plastik rombeng. Dan kasur busa tipis...
Terima kasih, ya Allah! Engkau selalu memberiku yang terbaik.