August 7, 2004

Sorry ama temen2, aku baru bisa posting sekarang, mungkin temen2 yang mampir ke blog ku udah bosen karena ngga ada cerita yang baru di blogku...
Aku dapat cerita dari temenku, menarik... aku coba share lewat blog ini, siapa tahu ada yang tertarik, kalo ngga kebangetan...
Tapi ceritanya mungkin akan diposting sebagian-sebagian (cerita bersambung gitu dech), soalnya panjang banget...

WheN Love Is NOt EnOugH

PART 1

Handphone-ku bergetar. Dengan enggan kubaca nama penelponnya. Private number.. Setelah beberapa saat aku menimang-nimang, akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telpon itu.
"Hallo." sapaku.
"Hallo Ca, ini Rosa."
"Rosa?" ucapku agak terkejut.
"Sudah terima undangannya?" tanya Rosa agak terburu-buru. Suasana hiruk pikuk di sekitarnya terdengar samar-samar.
"Undangan?" Buru-buru aku berjalan ke arah meja ruang tamu, menahan
rasa pusing yang langsung muncul ketika aku bangun dari tempat tidur,
langsung mencari-cari undangan yang disebut oleh Rosa. Ternyata house-mateku menaruhnya di bawah tumpukan koran.
"Iya, aku post beberapa hari yang lalu. Harusnya sudah sampai tadi pagi."
"Oh, iya.. ada nih.. Undangan siapa sih ini?" kubuka undangan itu dan terkesiap melihat nama pengantin perempuannya.
"Rosa! Kamu mau married? Kenapa nggak pernah cerita di email? Ngagetin banget.." aku masih belum pulih dari keterkejutanku. Kulihat nama pengantin prianya, memang pria yang Rosa pacari dua tahun terakhir ini. Rosa tertawa senang mendengar keterkejutanku.
"Ca, itu undangan belum disebar loh.. Aku kasih kamu duluan sekalian bikin kejutan supaya kamu orang luar pertama yang tahu.." ucapnya senang.
"Ya ampun Sa.. Kamu hampir bikin aku jantungan, tau nggak?" ucapku tanpa bisa menyembunyikan kesenangan yang juga aku rasakan saat itu.
"Ca, aku lagi buru-buru nih.. Nanti aku kirim e-mail lagi yah.." Lalu Rosa mengakhiri percakapan singkat kami.
Aku merebahkan diriku di atas sofa. Kupandangi lagi undangan yang masih kupegang. Rosa.. berapa umurnya sekarang? 23? Waktu memang cepat sekali berlalu.. Aku sendiri sudah 27 tahun.. Sudah bisa kutebak reaksi mama kalau tahu tentang hal ini nanti. Pernikahan Rosa memang alasan yang tepat untuk menyuruhku cepat-cepat cari pacar dan menikah. Aku tahu maksud baik mama.. tapi entah mengapa hati ini masih tidak bisa untuk menerima cinta yang
lain. Hati ini seolah-olah masih diikat olehnya, oleh pria yang selalu ada di setiap sudut benakku, yang berada nun jauh di sana.. Umurku kira-kira sama dengan Rosa waktu papa mama mengenalkanku dengannya. Aku sedang kuliah tahun terakhir saat itu. Ia sedang liburan di Jakarta, dan orang tuanya yang merupakan teman baik orang tuaku membawanya ke rumah kami. Aku masih ingat kesan pertama yang kudapat sewaktu melihatnya. Tampan namun angkuh.
“Bianca, kenalan sini sama Jason." Aku baru saja pulang dari kampus waktu
mama memanggilku. Aku duduk di sebelah mama dan mengulurkan tanganku kepada laki-laki yang dimaksud mama itu.
"Bianca" ucapku singkat. "Jason" ia membalas uluran tanganku singkat lalu melepaskannya lagi.
"Bianca, Jason ini lagi liburan dari Sydney. Kuliah kamukan juga sebentar lagi libur, bisa kan kamu temenin Jason kalau dia mau jalan-jalan?" Aku menatap mama heran karena permintaan mama terdengar janggal sekali.
"Ok" jawabku singkat, malas memperpanjang percakapan di depan orang yang tidak kukenal.
"Jason, kamu catet donk nomor telponnya Bianca.." mama Jason tiba-tiba angkat bicara. Aku baru ngat bahwa aku belum berkenalan dengan dua orang lagi yang duduk di sebelah Jason. Buru-buru aku berdiri dan menyalami mereka.
"Kayaknya kita yang tua-tua ngobrol di belakang aja yuk.." papa lalu membawa orang tua Jason ke taman belakang, meninggalkanku dan Jason berduaan. Sejujurnya aku merasa canggung sekali karena aku memang bukan orang yang mudah bergaul.
"Bianca.." panggilannya membuatku sedikit terkejut.
"Ya?" Ia lalumelambai-lambaikan handphone-nya. Nomormu?" tanyanya singkat seraya memberikan benda itu kepadaku.
"Oh.." jawabku gugup. Kusimpan nomor handphone-ku di memori buku telponnya.
"Kamu miss call ke handphone kamu aja supaya kamu juga punya nomorku" ucapnya sewaktu aku hendak mengembalikan handphone-nya.
"Oh.." ucapku lagi. Aku benar-benar merasa bodoh sekali. Malu mungkin lebih tepat. Lalu kudengar tawanya meledak. Aku menatapnya heran.
"Untung mama kamu dah bilang kalau kamu anaknya pendiam dan pemalu.." ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri yang kecoklatan.
Aku dapat merasakan pipiku memerah saat itu. Anaknya ternyata cukup menyenangkan, tidak angkuh seperti yang aku bayangkan. Kami ngobrol cukup lama. Walaupun aku agak kaku pada awalnya, ia berhasil membuat suasana lebih santai dengan cerita-cerita konyolnya. Jason Tjiputra. Ia besar di Sydney dan jarang pulang ke Jakarta. Ia sudah menyelesaikan kuliahnya dan sedang mencoba mencari pekerjaan. Papanya sebenarnya menginginkan ia membantu usaha keluarga mereka namun ia bersikeras ingin mencari pengalaman dulu di sana. Sementara ia menunggu lamarannya diterima, ia pulang kembali ke tanah air. Dimulai dengan telpon-telponan tiap malam dan sesekali pergi bersama keluarganya, kami mulai jadi dekat. Sekali waktu, Ia bahkan nekat menjemputku di kampus. Sesuatu yang membuat geger anak-anak di kampusku.
Kejadian itu masih segar dalam ingatanku, karena pada hari yang sama itulah, sesuatu merubah hidupku. Ia bersandar ke mobil mewahnya dengan gayanya yang angkuh. Tangannya dimasukkan ke saku celananya dan dari balik kacamata hitamnya, matanya seperti sibuk mencari-cari sesuatu. Aku hamper tidak percaya ketika melihatnya di lapangan parkir kampus sore itu. Buru-buru aku menghampirinya.
"Jason? Ngapain di sini?" sapaku sambil tertawa kecil, menyembunyikan rasa grogiku.
"Ca, aku mau ajak kamu jalan." Ucapnya dengan senyum lebar tersungging di bibir merahnya. Aku terkesiap mendengarnya. Ini pertama kalinya dia mengajakku pergi berdua saja. Aku melirik ke mobilnya, mecari-cari supirnya.
"Supirnya mana?" tanyaku polos.
"Aku yang nyetir donk!" ucapnya bangga.
"Hah? Nggak mau ah.. Kamu kan nggak bisa nyetir di sini.." sahutku pura-pura panik.
"Jangan takut, aku dah latihan dari kemaren.." ia lalu berjalan melewatiku dan membukakan pintu mobil untukku.
"Silahkan masuk, tuan putri." Aku bias merasakan tatapan-tatapan yang tertuju padaku saat itu. Bagaimana tidak, sore itu lapangan parkir sedang ramai-ramainya dan tiba-tiba saja ia datang dengan semua keglamourannya. Ditambah lagi statusku yang memang kurang mengenakkan di kampus ini. Merasa tidak enak, aku memilih untuk buru-buru masuk ke mobil sebelum mereka menganggap aku sedang pamer cowok.
"Kok diem aja Ca?" tanya Jason sedikit tidak enak.
"Lain kali nggak usah jemput aku.." jawabku pelan.
"Kenapa sih memangnya? Nggak enak ama anak-anak di kampus? Biarin aja ah.." sahut Jason cuek. Ia sibuk mencari-cari lagu yang bagus dari CD changernya.
"Nanti aku diomongin yang macem-macem.."
"Diomongin apa sih?" tanyanya, kali ini agak lebih serius.
"Yah.. apa kek gitu.. Kamu kan tahu bagaimana sikap mereka sama aku.. Mereka tuh nggak suka sama aku.." jawabku, agak sedikit sedih mengingat-ingat celaan apa saja yang pernah ditujukan kepadaku..
"Mereka cuma sirik sama kamu.. Udah pinter, kaya, cakep lagi.. Plus dijemput ama cowok keren begini.. Kayaknya emang mereka bakalan makin sebel sama kamu sih.." Tanpa kusadari, aku tersenyum sendiri mendengar ucapannya. Entah kenapa, Jason bisa membuatku merasa dihargai dan berarti meskipun ia tidak pernah mengatakannya secara langsung

....to be continue

No comments:

Post a Comment