August 10, 2004

WheN Love Is NOt EnOugH

PART 3

Aku hampir tidak percaya ketika melihat nama Jason tertera di layer handphone-ku sore itu.. Aku ingin sekali menjawab telpon itu tapi ada sesuatu dalam diriku yang mencegahnya. Kebimbangan terus berkecamuk dalam hatiku sampai akhirnya telpon itu terputus. Kumaki diriku sendiri dan kusesali diriku karena tidak mengangkat telpon darinya. Kupandangi layar handphoneku terus menerus, berharap ia akan menelponku lagi. Ternyata harapanku membuahkan hasil. Tidak lama ia menelponku lagi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangkatnya.
"Hallo.." ucapku pelan dan agak berhati-hati. "Ca, pakai gaun biru yang kita beli sama-sama untuk Sabtu depan.."
"Apa??" tanyaku kebingungan, kaget dengan ucapan Jason yang tanpa basa-basi itu. Kupikir ia akan meminta maaf tentang kejadian waktu itu.
"Sabtu depan kita tunangan.." kebingunganku sirna, diganti oleh rasa terkejut dan sedikit khawatir.
"Jas.. kayaknya kita perlu bicara lagi.. Kamu harus jelasin kenapa.."
"Aku mencintaimu." potongnya cepat sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Aku terdiam sesaat. Setelah itu, hanya isakan tangisku yang terdengar. Ia juga diam seribu bahasa. Bibir kami sama-sama terkunci saat itu.. Tidak lama ia datang ke rumahku. Sewaktu aku turun dari kamar, kulihat ia sedang duduk di ruang tamu menantiku. Aku menatapnya dari belakang. Rasanya aku bisa mendengar detak jantungku sendiri saat itu. Pelan-pelan kuhampiri dia dan duduk di hadapannya dengan tatapan yang menghindar darinya. Di luar dugaanku, ia menghampiriku, bersujud di dekat kakiku dan meraih tanganku.
"Sudikah kau bertunangan denganku, Bianca Fransesca Prananto?" ia mengecup tanganku lembut lalu menyelipkan sebuah cincin ke dalam genggaman tanganku.
Aku bisa merasakan air mataku kembali menetes dari mataku yang sembab. Tapi kini seuntai senyuman menghiasi wajahku. Ia lalu bangkit dan memelukku.
"Maaf.." kudengar ia berbisik pelan
Suasana sore itu begitu tenang dan damai. Aku dan Jason baru saja pulang dari mengurus beberapa keperluan untuk pesta pertunangan kami. Sebenarnya mama Jason sudah mengurus semuanya, lagipula tidak terlalu banyak yang diurus mengingat pesta ini hanya dihadiri oleh keluarga dan teman dekat saja. Namun Jason bersikeras ingin ikut campur dalam segala persiapannya. Hari ini sudah hari Senin. Lima hari lagi adalah hari pertunangan kami. Terus terang, aku merasa ini semua berlangsung terlalu cepat.
"Kok ngelamun, Ca?" Jason menyentuh tanganku lembut sambil masih berkonsentrasi menyetir. Aku mengalihkan pandanganku yang sedari tadi memandang ke luar jendela.
"Aku cuma merasa ini tidak nyata.. Semuanya terlalu cepat.. Maksudku, kita baru berkenalan belum sampai dua bulan tapi kita sudah akan bertunangan lima hari lagi.."
"Kita kan hanya bertunangan, belum menikah.. Pertunangan ini kan hanya sebagai tanda ikatan antara kita berdua mengingat aku harus kembali ke Sydney minggu depan.. Kita masih punya banyak waktu untuk saling mengenal.. Kita tokh tidak perlu buru-buru menikah kan? Atau jangan-jangan kamu dah nggak sabar ya?" pertanyaannya membuat pipiku bersemu merah. Aku kembali mengalihkan pandanganku ke luar jendela.
"Jas, kamu belum menjawab pertanyaanku dulu.." ucapku memberanikan diri.
"Pertanyaan yang mana, Ca?" "Kenapa malam itu reaksimu seperti itu?" aku kembali mengungkit persoalan malam ketika ia secara tidak langsung menolak perjodohan kami. Ia selalu menghindar setiap kali aku mencoba menanyakannya. Jason menghela napasnya,
seolah merasa bosan dengan pertanyaanku.
"Apa itu masih penting sekarang?"
"Masih.. Karena aku ingin tahu apa yang membuatmu ragu?" paksaku.
"Hmm.. entah lah.. Life is complicated.." jawabannya masih penuh teka-teki.
"Sudah lah.. Aku mohon, jangan bahas ini lagi.."
Aku tidak mengucapkan apa-apa lagi. Tampaknya percuma saja..Lagipula memang tidak ada gunanya aku tahu, hal itu tidak akan mengubah apapun. Jadi, kukesampingkan egoku dan membuang keingintahuan itu..
"Besok kita jemput Rosa, kamu nggak lupa kan?" Aku hanya mengangguk.

PART 4

Rosa adalah adik Jason yang juga tinggal di Sydney. Aku hanya pernah melihat fotonya di foto keluarga yang dipajang di rumah mereka. Rosa adalah satu-satunya saudara yang dimiliki Jason. Setidaknya itu masih lebih baik dariku yang hanya sendirian. Sejujurnya, aku sangat mengharapkan memiliki seorang saudara perempuan dan aku berharap Rosa bisa menerimaku. Ketika bertemu dengan Rosa di airport, ia ternyata jauh lebih cantik dari yang di foto. Tepat seperti yang kubayangkan, anaknya lincah dan enerjik, membuat suasana di sekitarnya selalu meriah. Sebentar saja aku sudah akrab dengan Rosa. Banyak kecocokan di antara kami walaupun dia lebih kecil sekitar empat tahun dariku.
"Wahhh. kalian deg-degan nggak nih besok sudah mau tunangan?" goda Rosa saat kami makan malam bertiga. Sebenarnya Rosa ingin aku melewatkan malam tersebut hanya berduaan dengan kakaknya namun aku yang memaksanya untuk ikut.
"Bukan deg-degan tapi sedih, Sa.." jawabku.
"Sedih?" tanya Jason kaget, membuatku dan Rosa tersenyum geli.
"Gimana nggak sedih? Mana ada orang yang baru tunangan dua hari langsung ditinggal?" sahut Rosa seperti bisa membaca pikiranku.
"Ohh.. aku ke Sydney kan bukan buat selamanya.." "Kenapa sih kamu nggak batalin tawaran kerja di Sydney dan kerja sama papa aja?" aku agak sedikit terkejut dengan pertanyaan Rosa yang agak blak-blakan walaupun pertanyaan itu pernah juga terlintas dalam pikiranku.
Jason terdiam sebentar. "Aku kan sudah pernah bilang alasannya.."
"Tapi itu sebelum kamu bertemu dengan Bianca kan?" "Prinsipku tidak bisa diubah.." dari nada bicaranya tersirat Jasontidak ingin melanjutkan percakapan itu. Rosa menghela napasnya dan menatapku.
"Ca, kamu harus awasin bener-bener kakakku ini.. Hati-hati, cewek yang ngejar dia ada segudang.." candanya.
"Harusnya aku yang minta tolong kamu, Sa.. Kan kamu yang bisa ngawasin dia
nanti.." balasku sambil tertawa kecil. Rosa lalu melirik ke arah Jason.
"I'll try my best.. We'll see.." Entah mengapa aku merasa ada yang ganjil dengan ucapan Rosa tapi aku tidak terlalu memperhatikannya. Pikiranku sendiri berkecamuk dengan pertunanganku besok.
"Ca.." Jason membuyarkan lamunanku. "Mikirin besok yah?" sambungnya lembut. Aku mengangguk. Rosa memegang tanganku dan menggenggamnya erat.
"Everything will be fine.. Relax.." Jason mengangguk setuju dengan perkataan adiknya. Lalu tiba-tiba kulihat Jason memberikan isyarat kepada seseorang, menyuruhnya untuk datang ke meja kami. Aku berpaling melihat siapa orang tersebut.
Ternyata seorang pemain biola. Ia menghampiri kami dan mulai memainkan sebuah lagu. Lagu yang sangat indah, sebuah lagu klasik yang begitu akrab di telingaku, Moonlight Sonata.. Jason tahu aku suka memainkan lagu itu dengan piano kesayanganku..Wajahku langsung bersemu merah, benar-benar kikuk rasanya berada dalam keadaan seperti itu. Aku mencari-cari Rosa, berupaya untuk tidak menatap Jason.. Namun tampaknya Rosa sengaja menghilang saat itu, membiarkan diriku hanya berduaan dengan Jason. Aku melihat orang-orang di sekeliling restoran itu menatap ke arahku sambil tersenyum. Aku menunduk lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk menoleh ke arah Jason.
Ia memang sedang menungguku menatapnya. Ia tersenyum simpul, sedikit terlihat menahan tawa melihat sikapku yang malu-malu itu.. Ia lalu mengulurkan tangannya, mengajakku berdansa. Aku menatapnya terkejut. Aku ingin menolak namun aku tahu berpasang-pasang mata sedang memperhatikan kami saat itu. Akhirnya aku sambut uluran tangannya dan kami beranjak ke lantai dansa. Musik masih terus mengalun, samar-samar menutupi bunyi detak jantungku. Ia mendekap tubuhku erat, tubuh kamipun bersatu, bergerak perlahan.. terbawa suasana.. Beberapa pasangan juga mulai turun dan mulai berdansa. Aku tersenyum, merasa agak sedikit rileks. Aku menopangkan daguku di bahunya.
Kudengar ia berbisik pelan, "Terima kasih.." lalu ia mencium telingaku lembut. Hanya dua kata yang singkat namun membuatku merasa begitu dihargai, begitu dipuja.. dan di atas segalanya, begitu dicintai.. Aku merenggangkan pelukanku. Kuberanikan diriku untuk menatapnya. Lalu kaki kami sama-sama terhenti. Kami berdua berdiri mematung di tengah-tengah pasangan-pasangan lain yang sedang berdansa. Kami berdua bertatapan cukup lama saat itu. Melihat tatapan matanya yang begitu dalam dan hangat, aku yakin aku adalah gadis yang paling beruntung di dunia ini. Aku percaya, keputusanku untuk menerima pertunangan ini tak akan pernah kusesali.

PART 5

Pesta pertunangan kami berjalan dengan lancar. Sejujurnya, tidak ada yang terlalu istimewa di hari itu kecuali perasaanku. Bahagia dan terharu mungkin tidak cukup untuk mendeskripsikannya. Jason selalu berada di sampingku sepanjang acara itu. Ia senantiasa menggenggam erat tanganku atau sesekali merangkul pinggangku. Kudengar tamu-tamu memuji kami sebagai pasangan yang sempurna. Jason juga terus menerus memujiku yang terlihat agak berbeda malam itu. Sedih rasanya waktu pesta itu berakhir dan membayangkan Jason akan segera meninggalkanku. Namun cincin yang kini terselip di jari manisku mampu membuat hatiku agak lebih cerah.
Malam itu, Jason mencium bibirkuku untuk yang pertama kalinya.. Ciuman yang lembut.. Tepat seperti yang aku impikan, ciuman pertama yang membuatku menangis sebaliknya dari tersenyum.. Jason memang memenuhi semua anganku.. Ia terlalu sempurna sehinggal aku merasa semua ini hanya mimpi. Ketika Jason harus pergi dari sisiku, aku melepas kepergiannya dengan tabah. Aku tahu tangisanku tidak akan merubah keputusannya. Sebaliknya, aku tersenyum karena aku tahu ia akan kembali ke sisiku. Mungkin perpisahan sementara ini adalah yang terbaik bagi kami berdua. Mungkin dengan begitu, cinta yang murni bisa berkembang di antara kami. Apabila kami bisa melewati semua ini, maka tidak ada lagi yang bias memisahkan kami nantinya.
"Aku nggak nyangka kamu tidak nangis.." Jason tersenyum meledekku. Ia sudah hendak check in namun ia minta waktu untuk bicara berdua saja denganku.
"Aku menangis di sini.." aku menunjuk hatiku. Kurasakan suaraku bergetar saat mengucapkannya. Jason menarik tubuhku mendekat kepadanya. Ia lalu sedikit membungkuk
dan menempelkan keningnya di keningku. Matanya menatapku begitu dalam seolah
ingin melihat apa yang ada di balik bola mataku.
"Terima kasih.. Seandainya kamu menangis, hatiku juga jadi susah.." Ia lalu mengecup keningku. "Aku pasti kembali lagi.. Jaga cinta kita.." Dan ia memelukku begitu erat.
Kugigit bibirku kuat-kuat untuk menahan air mata yang sudah di pelupuk mataku.
"Sudah.. ayo check in sana.. Rosa udah nungguin.. Nanti langsung telpon aku yah.." kulepas pelukannya dan kucoba mengucapkan kata perpisahan dengan nada ceria..
Ia tersenyum dan mengangguk pasti. Ia lalu berjalan ke arah Rosa dan mereka berdua melambaikan tangan padaku. Ketika mereka berdua berlalu dari pandanganku, air mataku tumpah..

Aku dan Rosa juga masih terus berhubungan. Sadar atau tidak, kami sudah jadi sahabat baik. Anehnya, kami tidak terlalu banyak membicarakan Jason. Baik aku maupun dia sama-sama tidak pernah menyinggungnya. Aku merasa agak sungkan, lagipula aku tidak mau Jason berpikir bahwa aku kurang mempercayainya. Kuliahku berjalan dengan lancar. Aku tidak terlalu merasa tertekan. Entah mengapa, keberadaan Jason menambah kepercayaan diriku. Aku jadi tidak terlalu minder dan berprasangka buruk terhadap orang-orang di sekitarku. Sungguh, aku banyak berubah. Aku lebih berani mencekati orang dan ternyata, tidak semuanya berpandangan negatif tentangku.. Kupikir, dulu aku hidup dalam ketakutanku sendiri.. Aku yang tidak bisa menerima diriku, bukan mereka.. Kini di kampus aku punya cukup banyak teman. Aku sangat menyayangkan karena diriku berubah di saat-saat terakhir kuliahku. Aku jadi tidak pernah benar-benar menikmati masa kuliah. Kadang-kadang Jason kesal karena semenjak diriku mulai lebih terbuka, sudah ada beberapa teman laki-lakiku yang mencoba mendekatiku. Kalau sudah begitu, katanya aku lebih baik jadi pendiam dan tertutup seperti dulu. Namun aku tahu ia tidak pernah serius dengan ucapannya.. Jason juga cukup puas dengan pekerjaanya. Ia sudah beberapa kali dapat pujian dari atasannya dan menurutnya, sebentar lagi ia bisa naik jabatan. Kalau sudah mendengarnya bercerita begitu seru, aku jadi takut sendiri kalau-kalau ia tidak akan kembali. Di sisi lain, aku bangga karena tunanganku bukan laki-laki yang hanya bisa mengandalkan orang tua.
Seperti yang sudah dibilang Rosa dulu, banyak sekali gadis yang ngantri untuk mendapatkan Jason. Bukannya cemburu, aku malah jadi geli sendiri mendengar cerita-cerita lucu tentang gadis-gadis itu. Mulai dari yang mengiriminya foto sampai yang mengirimkannya lagu lewat radio tiap weekend. Hubungan kami berjalan begitu lancar.. begitu sempurna.. Hingga tidak terasa aku sudah menyelesaikan kuliahku. Semenjak kuliahku selesai, aku tidak melakukan banyak hal selain membantu papa sedikit-sedikit di perusahaannya. Sebenarnya Jason akan pulang saat wisudaku nanti, ia sudah berjanji.. namun aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengannya karena wisudaku masih dua bulan lagi. Saat kau merindukan seseorang, dua bulan bisa jadi seperti
penantian tanpa batas. Maka kuberanikan diriku untuk meminta ijin ke Sydney.
"Sudah tidak sabar mau ketemu calon suami yah?" ledek papa waktu aku mengutarakan niatku.
"Ah papa.. kayak nggak pernah pacaran aja.." ucapku manja.
"Papa nggak ada alasan melarangmu. Kamu pesan saja tiketnya.."
"Beneran pa?" ucapku girang.
"Kalau perlu pesan saja untuk dua bulan jadi kamu balik ke Jakarta-nya sama-sama dia." tambah mama lagi.
"Aduh, mama memang mama paling baik sedunia.." aku memeluk mama erat-erat.
"Oh ya, aku mau bkin surprise loh buat Jason dan Rosa jadi mama papa jangan sampe keceplosan yah.." tambahku lagi. Papa dan mama hanya tertawa melihat sikapku yang kekanak-kanakan itu.. Kupandangi refleksi wajahku di cermin. Aku tersenyum puas melihat penampilanku. Kusisir rambutku yang sudah tumbuh panjang sekarang. Aku teringat Jason pernah bilang bahwa aku lebih cantik bila rambutku panjang. Mungkin itulah alasannya mengapa aku tidak pernah memotong rambutku semenjak aku mendengar kata-katanya itu. Aku tersenyum membayangkan dirinya melihatku sekarang. Aku tersenyum membayangkan perjumpaan kami sebentar lagi, melihat ekspresi terkejut di wajah tampannya.. Kubayangkan juga hari-hari yang akan aku lewati dengannya, menyusuri tempat-tempat indah yang selama ini selalu ia ceritakan padaku.. Kurapihkan diriku lagi sebelum keluar dari kamar kecil itu. Kulangkahkan kakiku dengan mantap.
"Sydney, say hi to me.." pekikku girang dalam hati.

....to be continued

No comments:

Post a Comment